Hari :
Senin, 10 Oktober 2022
Waktu : 13.00
– 16.00 WIB
Tempat : Ruang Rapat Lt. 2 Biro Hukum Setda DIY
Peserta Rapat:
1. Biro Hukum Setda DIY
2. Dinas Sosial DIY
3. Dinas Kesehatan DIY
4. KPAD DIY
5. Kanwil
Kemenkumham DIY (Anastasia Rani Wulandari, Andika Distri Antoko, Yusti
Bagasuari)
Jalannya Rapat:
1. Rapat dibuka oleh Bpk. Reza (Kasubag Perda Biro Hukum
Setda DIY)
- Beberapa perbaikan NA:
·
Jenis metode akan disesuaikan.
·
Teori tidak dilakukan
perubahan karena tidak memiliki kemmapuan untuk menelaah teori pada kutipan
yang sudah ada.
·
Akan dilakukan penghapusan
materi Bab III. Materi dalam Bab III
lama akan dimasukkan salah satu subbab di Bab II. Bab IV edit menjadi Bab III.
-
Beberapa perbaikan draft Raperda:
·
Nomenklatur apa yg akan
digunakan, HIV & AIDS atau HIV/AIDS atau HIV-AIDS?
·
Pencatuman diskriminasi
dalam konsiderans menimbang karena disebutkan dalam NA.
·
Perbaikan konsiderans
huruf c.
·
Dasar hukum mengingat
perbaikan pada UU 1/2022.
·
Pasal 11 ditambahkan
kalimat “upaya pencegahan penularan HIV-AIDS” pada setiap rincian supaya tidak
salah persepsi.
2. Dinkes:
-
Jika mengacu pada Permenkes 21/2013 masih menggunakan kata sambung “dan”
-
Pasal 1 angka 3 kata “manusia” dihapus.
3. Pasal 28 dan 29:
-
Kumham:
·
Istilah “infeksi oportunistik” perlu diberikan batasan pengertian di
ketentuan umum karena disebutkan beberapa kali dalam batang tubuh.
Biro Hukum: akan
diberikan penjelasan dalam pasal yang menyebutkan karena pengertiannya
disesuaikan konteks yang diatur
Dinsos: infeksi
oprtunistik adalah infeksi ikutan karena lemahnya imun, sehingga memunculkan
penyakit baru.
·
Pasal 28 dan 29 memiliki kemiripan, apakah saling menjelaskan?
Biro Hukum: Pasal 28
lebih ke tujuan umum pengobatan, ayat (2) belum bicara bentuk pengobatan tapi
tindakan yang harus dilakukan bersama dengan pengobatan.
Dinkes: pengobatan HIV
adalah salah satu upaya mengurangi penularan virus. Jika ODHA diobati maka
virus turun sehingga penularan menurun. Penapisan dilakukan pada orang yg
kontak dengan ODHA. Pengobatan suportif misalnya prosilaksis pencegahan TB,
kotrimoksasol. Layanan pengobatan HIV&AIDS bisa melalui puskesmas/dokter
umum.
·
Pasal 29, pengobatan untuk ODHA, sedangkan di Pasal 33 Permenkes 21/2013
ada pengobatan pasca pajanan, obyek yang diobati berbeda sehingga perlu
ditambahkan 1 pasal tentang pengobatan non-ODHA. Pasal 33 (3) huruf a Permenkes
21/2013 perlu diberikan catatan.
Dinkes: Nakes terkena
jarum suntik bekas ambil darah ODHA, maka nakes tersebut harus diberikan ARV
profilaksis pasca pajanan/terpapar HIV.
·
Perlindungan Nakes belum diakomodir, padahal termasuk OHIDA.
-
KPAD: Apakah istilah “pengidap HIV” masih relevan? Sudah menggunakan
istilah ODHA.
4. Pasal 30:
-
Biro Hukum: Pasal 30 belum ada siapa yang melakukan pengobatan.
-
KPAD: Semua puskesmas bisa tes HIV, semua ibu hamil wajib tes HIV sehingga
bisa melakukan pencegahan.
-
Dinkes: bayi akan dites HIV setelah berusia 2 bulan.
-
Kumham: ayat (1) dan (2) terputus. Kapan bayi diketahui status HIVnya?
Memang sudah diatur dalam pencegahan, tapi pasal ini mengenai pengobatan. Apa
yang akan dilakukan terhadap bayi sebelum/sesudah tes HIV? Jika positif
bagaimana?
5. Pasal 31:
-
Dinsos:
·
Pelayanan psikososial perlu diberika penjelasan. Permasalahan sosial tidak
ada perawatan.
·
Kami melakukan intervensi psikossosial bentuknya pendampingan, konsultasi.
Kalau konteksnya shelter yg ada di dinsos, kemudian dinsos melakukan dukungan
psikososial bisa dilakukan melalui pekerja sosial Perawatan merupakan istilah dinkes. Tapi
kalau konteks sosial, yang bermasalah adalah sosial/lingkungan sehingga
dijauhi/dikucilkan/PHK
·
Shelter aksesibel terhadap pelayanan psikososial. Psikososial jadi hal yang
saling berkesinambungan. Pelayanan psikologi fokus pada ODHA, sedangkan
pelayanan sosial yang diintervensi tidak hanya ODHA tapi bisa lingkungan
keluarga dan sekitar, sekaligus menyiapkan mereka kembali ke masyarakat.
6. Pasal 32:
-
KPAD: Paliatif care merupakan cita2 DIY. OPD teknis menjadi kunci paliatif
care. Belum ada paliatif care di Indonesia. Dinsos dan Dinkes masih belum
sepakat. Akan membantu penguatan advokasi paliatif care.
-
Biro Hukum: kami bingung mau menempatkan di posisi mana, rinciannya seperti
apa, akan jadi pemikiran saat pelaksanaan.
-
Dinsos: konteks paliatif tidak masuk dalam rehabsos sehingga sulit
melaksanakannya. Tapi kami siap kolaborasi apabila Dinkes ada sarpras, Dinkes
bisa melakukan pendampingan. Saat raperda muncul akan berimplikasi pada alokasi
penganggaran. Jika mengandalkan Dinsos, selama UU 23/2014 dan Permendagri
90/2019 tidak berubah maka Dinsos tidak bisa intervensi, sehingga berimbas pada
ODHA. Bukannya tidak punya komitmen tapi memang tidak bisa. Punya dukungan LKS,
pekerja sosial dan TKSK banyak. Jika diberikan SK juga siap. Kami juga punya
program dan bantuan untuk ODHA miskin.
7. Pasal 35:
-
Dinsos: disarankan dihapus karena rehabsos di lembaga pemda tidak berwenang
melaksanakannya. Kami punya 6 panti tapi tidak diperkenankan menangani HIV.
Kalau pempus punya panti di DIY untuk menangani HIV diperbolehkan rehabsos.
Panti Kemensos multilayanan. Peran Pemda terdapat dalam Pasal 36. Rehabsos bisa
dilakukan oleh pati milik pusat, LKS, keluarga, dan masyarakat. Dukungan oleh Dinsos
bagi ODHA menggunakan istilah lain, misalnya kelompok rentan, lansia, dll.
Ketika adalah masalah ODHA di Jogja bisa koordinasi dengan Antasena. LKS tidak
bisa terus bergantung pada Dinsos tapi harus koordinasi dengan OPD lain yg bisa
diakses program kegiatannya. Bantuan akan langsung diberikan kepada
ADHA/penerima DTKS. Akan melakukan pengecekan terhadap pengaturan terbaru
mengenai irisan perpindahan rekomendasi LKS, apa saja yang tetap menjadi
kewenangan provinsi atau berpindah ke kabupaten/kota.
-
KPAD: panti asuhan anak dimana posisinya?.harapannya ke depan, panti asuhan
tidak boleh menolak ADHA.
8. Rapat ditutup.
Komentar (0)